Wakil Ketua DPR RI : KKB Hingga TNPPB Sejatinya Teroris di Papua
Jurnalcakrawala.com
Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin dalam keterangannya, Senin (22/3) mengatakan, Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB), Kelompok Kriminal Separatis Bersenjata (KKSB), Organisasi Papua Merdeka (OPM), dan Tentara Nasional Pembebasan Papua Barat (TNPPB) di Papua sejatinya para pelaku atau terduga terorisme, melakukan teror, ancaman, menyandera, membunuh, menyiksa dan menculik warga sipil, seringkali dengan motif politik.
“Maka mereka adalah teroris, sama halnya dengan kelompok di Poso, Bima, Jawa Barat, Jawa Tengah ataupun Jawa Timur. Jadi jangan pernah mengatakan kejadian di Papua bukan terorisme, karena sejatinya terorisme terjadi di sana,” tegasnya.
Menurutnya, terorisme yang berakar dari separatisme, persis seperti yang terjadi di Thailand Selatan. Maka, secara penegakan hukum pun UU Pemberantasan Terorisme dapat digunakan. Oleh karena itu, dirinya menilai pemerintah perlu mendefinisikan KKB, KKSB, OPM, dan TNPPB sebagai Organisasi Teroris sesuai UU Nomor 5/2018 dan UU Nomor 15/2003 tentang Terorisme.
Lebih lanjut Wakil Ketua Komisi I DPRRI ini mengatakan, pendefinisian OPM sebagai KKB tidak salah sepenuhnya, tetapi istilah itu terlampau umum, karena begal motor, perampok bank misalnya, juga dapat tergolong KKB sepanjang mereka berkelompok dan memakai senjata api,tajam, dalam aksinya.
Bahkan, Azis Syamsuddin yang juga Politikus Partai Golkar itu menjelaskan, risiko lain yang lebih besar dari pendefinisian OPM sebagai pemberontak adalah munculnya peluang bagi mereka di luar negeri untuk merujuk Protokol Tambahan II tahun 1977 dari Konvensi Jenewa (Geneva Convention).
Konvensi tersebut merupakan hukum internasional tentang penanganan perang (jus in bello) atau disebut pula hukum humaniter internasional.
Protokol Tambahan II membahas konflik bersenjata non internasional atau di dalam sebuah negara. Dalam Pasal 1 dinyatakan, “Angkatan perang pemberontak atau kelompok bersenjata pemberontak lainnya yang terorganisir di bawah komando” ujarnya.
“Hal ini yang memungkinkan mereka melaksanakan operasi militer secara terus menerus dan teratur, yang berarti termasuk objek Konvensi Jenewa.
Pasal 3 Protokol Tambahan II melarang adanya intervensi dari luar, tetapi tidak ada larangan pihak pemberontak menyampaikan masalah kepada dunia internasional jika menurutnya terjadi pelanggaran Konvensi Jenewa,” jelasnya.
Karena itu, penyebutan OPM sebagai pemberontak dapat berisiko internasionalisasi, kasus serangan OPM atau saat TNI/Polri menindak mereka.
“Penyelesaian OPM sebaiknya dilakukan komprehensif, Secara taktis-operasional, TNI dan Polri segera menghancurkan dan menetralisasi para penyerang,” pungkasnya.(**)