RUU Cipta Kerja Dan Suara Rakyat Yang Diabaikan
Pembahasan Omnibus Law RUU Cipta telah diselesaikan DPR dan pemerintah pada Sabtu (3/10/2020) malam.
RUU Cipta Kerja, kini tinggal selangkah lagi untuk disahkan menjadi undang-undang melalui rapat paripurna DPR.
Meski belum ada jadwal resmi, tetapi yang pasti DPR akan memasuki masa reses pada 9 Oktober. Artinya DPR akan menggelar rapat paripurna sebelum tanggal tersebut.
Dalam rapat kerja pengambilan keputusan Sabtu malam lalu, hanya dua dari sembilan fraksi yang menolak hasil pembahasan RUU Cipta Kerja.
Dua fraksi itu, yakni PKS dan Partai Demokrat yang menyatakan menolak RUU Cipta Kerja disahkan menjadi undang-undang.
Anggota Fraksi Partai Demokrat Hinca Pandjaitan menganggap RUU Cipta Kerja tidak memiliki nilai kegentingan di tengah dampak pandemi Covid-19 yang saat ini dihadapi Indonesia.
Selain itu, ia berpendapat RUU Cipta Kerja berpotensi memberangus hak-hak pekerja dan pembahasannya sejak awal cacat prosedur.
Fraksi Demokrat akan menyatakan untuk menolak pembahasan RUU Cipta Kerja ini. Fraksi Demokrat ini akan menilai masih banyak hal yang harus dibahas kembali secara lebih mendalam dan komprehensif, tidak perlu terburu-buru.
Anggota Fraksi PKS Ledia Hanifa sependapat dengan Hinca. Fraksi PKS menolak RUU Cipta Kerja karena pembahasannya dinilai tidak sensitif dengan situasi yang terjadi saat ini.
Pelibatan publik ini dalam pembahasan RUU Cipta Kerja juga dikatakan minim.
RUU Cipta Kerja tidak tepat membaca situasi.
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, menyatakan, hadirnya RUU Cipta Kerja akan mendorong pemulihan ekonomi nasional di tengah pandemi.
RUU Cipta Kerja dinilai akan mempermudah proses perizinan dan masuknya investasi di Tanah Air. Hasilnya, akan banyak pembukaan lapangan kerja.
RUU Cipta Kerja akan mendorong reformasi regulasi dan debirokratisasi, sehingga pelayanan pemerintahan akan lebih efisien mudah dan pastinya dengan ada penerapan Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK) dan penggunaan sistem elektronik.
Abaikan kepentingan rakyat
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Arif Maulana menyebut, pembentukan Omnibus Law RUU Cipta Kerja sangat mengabaikan kepentingan rakyat.
Proses pembentukan RUU ini dilaksanakan secara tertutup, sembunyi-sembunyi serta diskriminatif karena hanya melibatkan kelompok pengusaha dan sebaliknya mengabaikan warga.
DPR disebut bukan lagi wakil rakyat, melainkan wakil pemodal dan pengusaha.
Kita melihat ada yang sedang duduk di Senayan sana hari ini bukan wakil-wakil rakyat, tapi mereka adalah wakil-wakil pengusaha. Bukan wakil-wakil rakyat, tetapi mereka adalah wakil-wakil pemodal.
Menurut dia, Omnibus Law RUU Cipta Kerja akan berdampak luas pada berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Karena itu, ia berpendapat RUU Cipta Kerja merupakan bentuk kejahatan konstitusi.
Buruh serukan mogok kerja
Berbagai organisasi gerakan rakyat yang tergabung dalam Gerakan Buruh Bersama Rakyat (Gebrak) dan Aliansi-aliansi Daerah menyerukan aksi mogok nasional pada 6, 7, dan 8 Oktober 2020.
Puncaknya, pada 8 Oktober akan digelar aksi besar-besaran di depan gedung DPR RI dan pemerintah daerah masing-masing kota.
“Pada 6, 7, 8 Oktober 2020 ini Gebrak dan seluruh aliansi dan jaringan di wilayah Indonesia menyerukan aksi nasional pemogokan umum rakyat Indonesia,” kata Perwakilan Gebrak yang juga Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika, dalam konferensi pers daring, Minggu (4/10/2020).
Aksi nasional ini bakal mengusung satu tuntutan, yakni meminta DPR dan pemerintah membatalkan omnibus law seluruhnya. Sidang paripurna DPR ini diminta untuk tidak mengesahkan atau mengundangkan RUU Cipta Kerja.
Keberadaan Omnibus Law ini dinilai akan sangat memperburuk kondisi kerja di Indonesia, upah murah, memudahkan PHK dan merusak lingkungan.
sumber:kompas