PKG-P3A Helat Diskusi ‘Bogor Sudahkah Layak Anak’
BOGOR,-JurnalCakrawala.
Lembaga Pusat Kajian Gender, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PKG-P3A) menggelar diskusi publik yang dihadiri oleh kalangan pejabat pemerintahan daerah, akademisi, dan aktivis dan para pemerhati isu sosial di Kabupaten Bogor, Diskusi public ini mengangkat isu tentang anak dengan tema Bogor (sudah) layak anak?, pada Rabu (4/3/2020).
Narasumber yang hadir pada forum ini antara lain Yusfitriadi (Ketua Yayasan Visi Nusantara Maju), Imam Sunandar (Direktur Pusat Kajian Gender, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak – PKG-P3A), Ridwan Muhibi (Wakil Ketua Komisi IV DPRD Kab. Bogor), Ruhiyat Sujana (Anggota DPRD Kab. Bogor), Ira Nihrawati, A.S. (Wartawan senior Radar Bogor), Shinta Damayanti (Kepala Bidang Kesejahteraan dan Perlindungan Anak – DP3AP2KB Kab. Bogor), IPDA Silvi Adiputri (Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Polres Bogor), Heni Rustiani (Aktivis Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak), dan Asep Saepudin (Kabid. Dakwah & Kajian Keagamaan Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah Jawa Barat).
Adapun peserta forum yang hadir merupakan perwakilan dari beberapa lembaga seperti Alinea, PIK-R, Kopri PMII, IPPNU, IPM, IMM, dan HMI. Acara dimulai pukul 13.00 WIB dan dibuka secara langsung oleh Yusfitriadi selaku Ketua Yayasan Visi Nusantara Maju.
Imam Sunandar, Direktur PKG-P3A, dalam paparannya menyampaikan bahwa persoalan anak harus menjadi persoalan bersama seluruh pihak. Lebih jauh, kabupaten Bogor sudah memiliki Perda Nomor 5 Tahun 2015 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak dari Tindak Kekerasan. Imam menyampaikan bahwa produk dari Perda tersebut melahirkan lembaga bernama Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Terhadap Perempuan dan Anak (P2TP2A).
Saya melihat lembaga ini (P2TP2A) belum begitu maksimal dalam penanggulangan permasalahan perempuan dan anak. Mereka lebih merespon persoalan yang telah terjadi secara kasuistik. Seharusnya lembaga tersebut bisa maksimal dalam hal pencegahan, ujar Imam.
Lebih jauh, Imam berharap Dinas terkait agar bisa tegas melakukan pembinaan terhadap P2TP2A.
Dalam paparan lain, Shinta Damayanti, Kepala Bidang Kesejahteraan dan Perlindungan Anak DP3AP2KB Kabupaten Bogor menyatakan bahwa Kabupaten Bogor pada tahun 2016-2019 menjadi Kabupaten yang layak anak. Namun, masih ada beberapa persoalan yang harus diselesaikan bersama-sama.
Untuk menjadi Kabupaten layak anak terdapat 24 indikator dari 5 cluster, dan Bogor pernah masuk kategori Kabupaten layak anak. Ungkap Shinta. Meskipun di saat bersamaan, dia mengatakan bahwa ada 123 kasus anak yang ditangani oleh Dinas melalui P2TP2A sepanjang 2016-2019. Hal tersebut menurutnya disebabkan karena jumlah anak di Kabupaten Bogor juga banyak, sehingga potensi terjadinya kasus juga banyak.
Memperkuat paparan Shinta, IPDA Silvi selaku Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Polres Bogor bahwa nomenklatur anak adalah mereka yang berusia dibawah 18 tahun. Silvi menyebutkan bahwa terdapat berbagai regulasi hukum dalam hal penanganan tindak pidana baik yang dilakukan oleh anak, maupun anak sebagai korban tindak pidana itu sendiri.
Ada treatment yang berbeda bila tindak pidana dilakukan oleh anak. Bentuk hukumannya pun lebih banyak pada rehabilitasi dan trauma healing khususnya anak yang menjadi korban tindak pidana. Tutur Silvi. Namun dalam hal merespon laporan kejahatan dimana anak menjadi terganggu psikisnya, semisal bullying, Silvi menyampaikan bahwa kepolisian masih mengalami kesulitan dalam hal penyediaan psikolog untuk melakukan pemeriksaan mental-psikologis terhadap anak yang menjadi korban bullying.
Sementara itu, Ridwan Muhibi, Wakil Ketua Komisi IV DPRD Kabupaten Bogor berpendapat bahwa Undang-Undang, Perpres, dan Perda yang berkaitan dengan perlindungan anak harus bisa disosialisasikan kepada masyarakat secara tepat. Salah satu medium penyampaiannya adalah dengan institusi pendidikan. Proses edukasi masyarakat menjadi bagian penting dalam hal perlindungan anak dari berbagai bentuk tindak pidana yang berpotensi terjadi, kata Ridwan.
Namun Ridwan pun merasa ada kesulitan ketika data yang diberikan sebagai alat untuk turun ke lapangan, seringkali tidak tepat atau sudah tidak relevan dengan kondisi terbaru.
Sedangkan dari paparan salah satu aktivis pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, Heni Rustiani, menjelaskan bahwa kemiskinan adalah salah satu faktor penyebab terjadinya permasalahan anak. Bahkan Angka Kematian Ibu (AKI) menjadi salah satu ekses kemiskinan yang disebabkan pernikahan dini karena minimnya pendidikan. Ira juga menyebutkan bahwa angka perceraian yang disebabkan karena pernikahan yang belum siap, ikut memperburuk tumbuh kembang sosial anak yang mengalami kerusakan mental sejak dini.
Partisipasi semua kalangan masyarakat dalam melakukan perlindungan anak sangat penting. Dalam hal ini peran orang tua adalah urgen sebagai basis nilai internal di keluarga dan perceraian adalah pemicu kerusakan mental anak, tuturnya.
Dalam paparan penutup, Ira Nihrawati memberikan pandangannya dari sisi aktivis jurnalistik. Dalam salah satu pengalamannya menjadi wartawan Radar Bogor, dia pernah menemukan satu kasus yang luput dari potret dinas dan lembaga pemerintah terkait. Yakni sekolah yang tidak memiliki gedung layak belajar hingga memindahkan kegiatan belajarnya ke rumah RT setempat.
Menurut Ira, kasus apapun yang sifatnya merugikan masyarakat, khususnya dalam hal ini yang berhubungan dengan anak, harus bisa ditangani serius. Namun menurutnya, setiap kasus anak yang terjadi, jangan sampai di ekspos sebagaimana kasus lainnya.
Dalam kode etik jurnalistik, setiap kasus anak harus di treatment secara berbeda. ” Salah satunya adalah jangan sampai membuka identitas anak baik dia sebagai pelaku terlebih sebagai korban, keluarganya, tempat tinggalnya, dan hal lain yang berkaitan, jangan sampai terekspos. Karena akan menjadi beban mental psikologis dalam waktu yang berkepanjangan,” tutur Ira. (Red/*)