Khotbah Jum’at MUI: Teguhkan Diri sebagai Ummatan Wasatha

Khotbah Jum’at MUI: Teguhkan Diri sebagai Ummatan Wasatha

Smallest Font
Largest Font

Jurnalcakrawala.com

Ada satu peristiwa penting berkaitan dengan ibadah shalat yang telah diwajibkan lima kali sehari semalam sejak peristiwa Isra Mi’raj. Peristiwa ini adalah perintah perpindahan arah kiblat dari Baitul Maqdis di Palestina ke Ka’bah di Masjidil Haram Makkah. Perintah ini diabadikan di dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah 142-152 atau permulaan juz 2. Syekh Wahbah Zuhaili dalam Tafsir al-Munir mengutip hadits riwayat Al-Bukhari dari al-Barra’ menyebutkan bahwa peristiwa perubahan arah kiblat ini terjadi setelah Rasulullah SAW berada di Madinah selama enam belas atau tujuh belas bulan.

Pada saat berada di Makkah, Rasulullah SAW melakukan shalat di sebelah Selatan Ka’bah atau menghadap ke utara. Para sahabat ketika itu mengira Rasulullah shalat menghadap ke Ka’bah. Padahal Rasulullah menghadap ke Baitul Maqdis di Palestina yang juga berada di utara Makkah serong sedikit ke barat, tepatnya arah barat laut.

Setelah Rasulullah SAW berada di Madinah, para sahabat baru menyadari bahwa ternyata shalat Rasulullah SAW menghadap ke Baitul Maqdis di Palestina. Madinah sendiri berada di tengah-tengah antara Palestina dan Makkah sehingga ketika berada di Madinah, sangat kelihatan bahwa Rasulullah shalat menghadap ke Baitul Maqdis atau menghadap ke utara, membelakangi Ka’bah yang berada di selatan Madinah.

Sebelum sampai pada ayat inti mengenai perintah perpindahan arah kiblat atau ayat ke 144, terutama pada kalimat

قَدْ نَرٰى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِى السَّمَاۤءِۚ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضٰىهَا ۖ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ

“Sungguh Kami melihat wajahmu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram”

Sebelum itu, ada dua ayat yang disebutkan lebih dulu atau oleh Syekh Wahbah Zuhali disebut sebagai tamhid atau kalimat pengantar sebelum sampai pada ayat inti mengenai perintah perpindahan kiblat itu.

Tamhid li tahwil al-qiblat atau kalimat pengantar sebelum perintah perpindahan awah kiblat itu antara lain berbunyi:

وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَٰكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِّتَكُونُوا۟ شُهَدَآءَ عَلَى ٱلنَّاسِ وَيَكُونَ ٱلرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا

“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umatan wasatha agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu,” dalam ayat 143.

Istilah atau penyebutan umat Islam sebagai “ummatan washata” ini yang akan kita bahas kali ini.

Kata wasatha artinya tengah-tengah. Umat Islam adalah umat yang tengah-tengah, atau umat yang moderat. Dalam konteks kiblat dan hubungan dengan tempat suci agama-agama sebelumnya, Syekh Wahbah menyebutkan bahwa tengah-tengah ini maksudnya antara umat Yahudi yang berorientasi ke materi (maddiyyin) dan umat Nasrani yang berorientasi ke ruh (ruhiyiin). Islam adalah agama yang menempatkan jazad atau materi dan ruh secara proporsional.

Baca Juga Kurban, Ikhtiar, Keteladanan dan Ujian Kesabaran
Ada kaidah hukum Islam yang menyebutkan bahwa “al ibrah bi umumil lafdzi la bikhusussis sabab”, yang diambil adalah keumuman lafadznya, bukan kekhususan sababnya. Posisi tengah-tengah (al-wasath) ini bisa diterapkan dalam segala aspek (fil umuri kulliha), yakni tengah-tengah antara sifat yang terlalu bersemangat atau berlebihan (ifrath) dan yang loyo dan lalai (tafrith). Misalnya, sifat berani adalah tengah-tengah antara sifat nekat dan penakut, namun tidak semua sifat yang tengah-tengah ini mempunyai definisi khusus.

Apalagi sifat yang tengah-tengah ini dikuatkan dengan dalil lain yang memerintahkan umat Islam untuk menjadikan sifat moderat ini sebagai pilihan. Misalnya, tidak boleh terlau pelit dan tidak boleh terlalu boros:

وَلَا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَىٰ عُنُقِكَ وَلَا تَبْسُطْهَا كُلَّ ٱلْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُومًا مَّحْسُورًا (QS Al-Isra: 29),

lalu tidak boleh terlalu lantang dan telalu lirih:

وَلَا تَجْهَرْ بِصَلَاتِكَ وَلَا تُخَافِتْ بِهَا وَٱبْتَغِ بَيْنَ ذَٰلِكَ سَبِيلًا (QS: Al-Isra: 110).

Lalu tidak boleh terlalu berorientasi akhirat dengan melupakan dunia, atau sebaliknya:

وَٱبْتَغِ فِيمَآ ءَاتَىٰكَ ٱللَّهُ ٱلدَّارَ ٱلْءَاخِرَةَ ۖ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ ٱلدُّنْيَا ۖ (Al-Qashash ayat 77).

Alwasath-atau tengah-tengah adalah pilihan terbaik.

Alwasath artinya tidak ekstrem ke kiri atau ke kanan. Ada istilah lain yang sepadan dengan itu yakni i’tidal (dari kata adil) yakni tegak lurus, tidak menceng ke kiri dan ke kanan.

Sifat tengah-tengah ini bukan berarti tidak punya sikap atau pendirian. Posisi di tengah, proporsional, atau seimbang itulah sikap kita. Sebagai mana Ka’bah yang disebut tepat berada di tengah-tengah bumi, ummatan wasatha atau umat yang tengah-tengah itu adalah umat yang berada di jalan yang lurus (shiratal mustaqim) atau agama Islam (dinul Islam) itu sendiri.

بَارَكَ اللهُ لِي وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ. وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الذِّكْرِ الْحَكِيْمِ.وَتَقَبَّلَ مِنِّي وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. وَقُلْ رَبِّ اْغِفْر وَارْحَمْ وَأَنْتَ خَيْرُ الرَّاِحِمِيْنَ* (**)

Editors Team
Daisy Floren
Daisy Floren
Hera Author

Rekomendasi

Postingan dibawah ini milik Platform Advertnative, jurnalcakrawala.com tidak terkait dengan pembuatan konten ini.