Kebijakan WFH Sektor Tertentu Saat Arus Balik, Perlukah?
JABARONLINE.COM - Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Abdullah Azwar Anas mengeluarkan ketentuan mengenai pengombinasian tugas kedinasan dari kantor (work from office/WFO) dan tugas kedinasan dari rumah (work from home/WFH) bagi aparatur sipil negara (ASN) pada Selasa-Rabu, 16 dan 17 April 2024. Ketentuan ini tertuang dalam Surat Edaran (SE) Menteri PANRB Nomor 1 Tahun 2024 yang ditujukan kepada pejabat pembina kepegawaian (PPK) di seluruh instansi pemerintah.
Menpan RB mengatakan bahwa pengaturan ini dilakukan untuk memperkuat manajemen arus balik Lebaran. Ia menekankan, WFH dan WFO diterapkan secara ketat dengan tetap mengutamakan kinerja organisasi dan kualitas pelayanan publik (Humas Setkab, 2024).
Pengamat manajemen publik dari Nusantara Foundation, Imam Rozikin mengatakan, kebijakan WFH di tengah puncak arus balik lebaran dapat menuai pro dan kontra. Di satu sisi, kebijakan ini diharapkan dapat mengurai kemacetan dan memperlancar arus balik. Di sisi lain, beberapa pihak mempertanyakan bagaimana efektivitas dan ketepatan kebijakan tersebut, khususnya pada konteks manajemen waktu kerja sebagai bentuk tanggung jawab para pelayan publik. (17/4)
Imam Rozikin mengutip dari teori Jinalee & Singh (2018) “Manajemen waktu adalah kemampuan untuk mengatur waktu seseorang waktu pribadi dan waktu kerja. Secara positif, manajemen waktu dapat membantu meningkatkan prediksi penyelesaian pekerjaan dan juga memungkinkan kemampuan untuk membuat rencana ke depan di masa depan”.
Lebih lanjut Imam menjelaskan, adapun model proses perilaku manajemen waktu menurut Macan (1994) mencakup tiga atribut: menetapkan tujuan dan prioritas; mekanisme perilaku manajemen waktu dan preferensi untuk organisasi. Manajemen waktu dapat dianggap sebagai sekelompok keterampilan yang penting bagi keberhasilan pencapaian sasaran dan mencakup aktivitas yang dilakukan, seperti perencanaan awal, penentuan prioritas pekerjaan, persiapan dan mengikuti jadwal (Sansgiry et al., 2006).
Dari sudut pandang teori manajemen waktu, kebijakan WFH dapat menjadi solusi jika diterapkan pada konteks yang tepat. ASN yang berhak WFH dapat memanfaatkan waktu yang biasanya terbuang di perjalanan untuk menyelesaikan pekerjaan. Hal ini dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas.
“Namun demikian, keberhasilan WFH bergantung pada beberapa faktor, yakni kemampuan ASN dalam mengelola waktu dan disiplin diri agar tidak terdistraksi oleh urusan pribadi selama WFH dan komunikasi yang jelas dan efektif dari internal birokrasi untuk memastikan kelancaran pekerjaan selama WFH. Tanpa faktor-faktor tersebut, WFH dikhawatirkan justru dapat menjadi bumerang dan mereduksi kinerja pemerintahan,” jelas Imam disela-sela halalbihalal NusantaraFoundation.
Berkaca dari berbagai pengalaman mudik dan arus balik yang berlangsung rutin setiap tahunnya, seyogyanya Pemerintah dan aparaturnya telah mempelajari pola yang ada, baik dari segi penjadwalan, prediksi lalu lintas, maupun kondisi saat perjalanan. Sehingga, kebijakan kombinasi WFH dan WFO yang diinisiasi tidak menimbulkan pertanyaan.
Pengamat yang sehari-hari mengajar Administrasi Publik ini berpesan, bahwa perlu pertimbangan mendalam dalam mengambil kebijakan pelonggaran skema kerja melalui WFH terletak pada konteks paradigma yang diambil dan ambiguitas instansi yang terdampak kebijakan.
"Dari konteks paradigma yang diambil, kebijakan penyesuaian atau pelonggaran kehadiran ASN instansi layanan tertentu ini dilatarbelakangi untuk mendukung kelancaran mobilitas arus balik. Artinya, Pemerintah rela menyesuaikan diri terhadap fenomena yang sejatinya dapat dimitigasi dan dikelola sebelumnya dengan manajemen waktu yang tepat. Alih-alih memitigasinya, kebijakan ini lantas menyiratkan bahwa paradigma kebijakan justru tidak menekankan pada konteks manajerial kedisiplinan pegawai, melainkan untuk kebutuhan lain yang berada di luar konteks birokrasi pemerintahan yang menjadi domain KemenPAN RB," sambungnya.
"Adapun dari ambiguitas instansi yang terdampak kebijakan, sejatinya SE ini tidak diperlukan. Sebab secara proporsional, jumlah ASN yang berada di lingkup terdampak kebijakan (layanan administrasi pemerintahan dan layanan dukungan pimpinan) tidak terlalu signifikan jumlahnya daripada ASN yang berada di sektor lain ataupun di daerah. Pun ketika melihat bahwa kebijakan ini tidak diberlakukan di beberapa daerah," tegasnya.
“Berkaca dari hal di atas, Pemerintah dinilai perlu meluruskan paradigma manajemen waktu bagi ASN. Jika paradigma yang demikian terus berlangsung, diperkirakan bahwa hal itu dapat memunculkan sentimen yang negatif, khususnya bagaimana kemampuan pemerintah dalam mengelola waktu kerja ASN dan mitigasi risiko pelayanan pemerintahan. Hal itu juga lantas dapat menimbulkan kecemburuan sosial karena dianggap kontranaratif dengan apa yang berlaku di lingkup masyarakat, seperti kedisiplinan waktu kerja di ranah swasta ataupun konteks bagaimana hasil pajak masyarakat dikelola oleh negara,” tutup Imam. (Dsh)