Generasi Muda Harus Ikut Kendalikan Perubahan Iklim
Jurnalcakrawala.com
Isu perubahan iklim merupakan salah satu tantangan paling besar yang dihadapi umat manusia, saat ini dan juga di masa depan. Dampak perubahan iklim pun semakin dirasakan, oleh karenanya perlu upaya bersama termasuk generasi muda untuk ikut mengendalikan perubahan iklim.
“Perlu keterlibatan kita semua untuk mengendalikan perubahan iklim ini, dan generasi muda bisa jadi bagian dari kampanye pengendalian perubahan iklim,” kata Deputi Bidang Klimatologi Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Herizal dalam webinar Kedai Iklim #5 seri klim@talk yang berjudul “Generasi Muda dalam Aksi Literasi dan Mitigasi Perubahan Iklim”, Rabu (24/2).
Herizal dalam sambutannya mengatakan, dalam ikhtisar kondisi iklim tahun 2020 (state of climate in 2020) yang dikeluarkan oleh beberapa institusi internasional seperti NOAA, Met Office dan WMO, dinyatakan bahwa suhu global pada 2020 menempati peringkat ke-dua teratas sebagai tahun terpanas sejak zaman pra industri, sedikit lebih rendah dari suhu global pada 2016, yang saat itu juga dipengaruhi oleh fenomena El Nino ekstrem yang terjadi sejak 2015.
Hal ini merupakan fakta yang mengkhawatirkan, mengingat pada 2020 terdapat kejadian global yang seharusnya memiliki efek perlambatan pada peningkatan suhu global, seperti pengurangan aktivitas manusia yang disebabkan oleh pandemi global dan fenomena La Nina di akhir 2020. Hal ini menunjukkan cepatnya laju pemanasan global yang terjadi selama beberapa tahun terakhir.
Lebih lanjut Herizal menjelaskan, BMKG juga ikut berkontribusi memantau indikator perubahan iklim dan pemanasan global melalui data stasiun Global Atmospheric Watch BMKG di Kototabang Sumatera Barat yang menunjukkan tren peningkatan konsentrasi Gas Rumah Kaca yang saat ini tercatat karbon dioksida (CO2) menunjukkan angka 406 ppm. Begitu pula dengan suhu yang setiap tahun rata-rata mengalami kenaikan, selain itu secara fisik dapat dilihat dari berkurangnya secara drastis ketebalan dan luasan tutupan es di puncak Gunung Jayawijaya. Penelitian yang dilakukan Peniliti BMKG pada November 2015 menunjukan tebal es berkurang sekitar 5.26 meter selama periode 2010-2016, dengan rata-rata penyusutan sekitar 1.05 m per tahun.
Materi yang disampaikan Yesi Christy, PMG Muda Kedeputian Klimatologi BMKG, menunjukkan bahwa dampak peningkatan suhu global adalah peningkatan cuaca dan iklim ekstrem. Lebih dari 90 persen dari kejadian bencana adalah bencana hidrometeorologi yang didominasi oleh cuaca ekstrem, baik terjadi secara global maupun di Indonesia, seperti banjir, angin kencang, kekeringan ekstrem serta kebakaran hutan dan lahan.
Ia juga menyebutkan ancaman itu berlanjut di masa depan, dimana proyeksi iklim menunjukkan adanya peningkatan jumlah curah hujan maksimum dari Desember-Mei serta proyeksi deret hari kering yang akan semakin panjang terutama periode Juli sampai November.
“Waktu kita sangat singkat sekali dan sudah seharusnya kita lakukan dari sekarang. Ini bukan tanggung jawab pemerintah saja tapi kita semua, perlu adanya kontribusi semua pihak,”
ujar Yesi.
Analis Perundingan Perubahan Iklim Ditjen PPI Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Rizki Maulana mengatakan, dalam Paris Agreement, negara-negara yang menandatanganinya harus berkomitmen untuk menurunkan emisi dan Indonesia berkomitmen sebanyak 29 persen sampai 2030 di sektor energi, limbah, industri, kehutanan, dan pertanian.
Menurut dia, generasi muda bisa berkontribusi dalam pengendalian perubahan iklim. Sebagai individu, bisa berkontribusi hampir disemua sektor meski dalam porsi kecil namun bila diakumulasi dapat berdampak terhadap pengendalian perubahan iklim.
Sementara itu, Lia Zakiyyah dari Climate Reality Indonesia mengatakan, saat ini merupakan sebuah kondisi darurat yang harus kita perjuangkan bersama, yang sudah diingatkan oleh para ilmuwan sejak tahun 80-an.
Namun menurut dia, belum semua orang punya kesadaran yang sama untuk mengatasi dampak perubahan iklim karena ada tantangan dalam mengkomunikasikan perubahan iklim itu sendiri.
Antara lain, penyebab GRK tidak terlihat sehingga dianggap tidak berbahaya dan dampak yang terjadi seolah-olah jauh dari kehidupan sehari-hari.
Selain itu, aktivitas manusia yang tidak berhubungan langsung dengan alam serta hasil dari aksi perubahan iklim yang butuh waktu dan tidak langsung dirasakan.
Maka untuk mengkomunikasikan perubahan iklim harus disesuaikan dengan audiens terutama generasi milenial yang tidak bisa disamakan dengan generasi sebelumnya sehingga perlu perlakuan khusus.
Bilqis Rulista dari Waste4Change, menyatakan kegiatan manusia yang juga berdampak terhadap perubahan iklim adalah dari limbah karena prosesnya juga menghasilkan emisi GRK, terutama gas methan (CH4).
Sebagian besar pengelolaan sampah masih menerapkan kumpul, angkut, buang. Kondisi ini masih menimbulkan emisi dari proses pengangkutan sampah. Maka alternatif pengelolaan sampah yang dapat dilakukan dengan insenerasi, landfill, daur ulang atau pengomposan.
Amira Hasan dari lembaga edukasi dan juga hiring solution yang berfokus pada pembangunan talent secara profesional dalam bidang data, teknologi dan bisnis IYKRA menyampaikan bahwa pengolahan data sangat penting termasuk dalam pengendalian perubahan iklim.
Amira mengatakan dengan memanfaatkan data dapat mengedukasi masyarakat sehingga semakin tahu dan peduli dan diharapkan dapat berpengaruh pada perubahan iklim.
Webinar Kedai Iklim #5 yang berjudul “Generasi Muda dalam Aksi Literasi dan Mitigasi Perubahan Iklim” diikuti oleh 587 peserta terdaftar dan dilaksanakan sebagai upaya menggaungkan isu perubahan iklim sehingga mendapatkan perhatian lebih signifikan karena dampak perubahan iklim sudah dapat dirasakan.
Diharapkan webinar tersebut dapat memberikan edukasi dan kampanye dari isu perubahan iklim di Indonesia khususnya bagi generasi muda.(*)
Lia